Kepemimpinan Metafor PDIP

Tulisan tentang kepemimpinan Metafor akan dideskripsikan dalam konteks Kepemimpinan Metafor PDIP dalam Domain Perpolitik Nasional (Ilham Rifai Hasan, 2012)
Pengantar Kepemimpinan Metafor PDIP
Setelah melakukan penelusuran literatur, penulis kemudian mengetahui bahwa defenisi konsep kepemimpinan, cenderung mengarahkan pemahamannya pada sosok atau figure seseorang dalam rangka menjelaskan bagaimana upaya/sikap pribadi yang memimpin pelaksanaan aktivitas, bisa mencapai tujuan yang diinginkan. Sehingga dalam kaitan penyusunan naskah kajian sederhana ini, terdapat semacam “keraguan” untuk menjadikannya aras berpikir dalam rangka menjelaskan kepemimpinan metaphor .
Bahwa, baik dalam realita konkret maupun menurut petunjuk teori, pengertian yang terbangun senantiasa tertuju pada sosok atau figure seorang pemimpin. Sebagaimana kita berhadapan dengan situasi dimana seorang pemimpin berinteraksi dan mempengaruhi bawahannya dalam pelaksanaan kegiatan tertentu. Hal dimaksud juga dapat dibuktikan melalui performa personal seorang pemimpin; Bahwa keahlian memimpin yang ditunjukkan dalam pengaruhnya terhadap bawahannya, termasuk kompetensi koordinasi dan administrasi yang dimilikinya, semua itu merupakan hal-hal teknis yang digarisbawahi oleh pengertian konsep kepemimpinan.

Upaya ini, bagi penulis merupakan sebuah eksperimentasi sebab walaupun pengertian dalam konsepsi kepemimpinan, mungkin juga mencakupi wilayah kepemimpinan non sosok/non figure (kepemimpinan metaforik), namun hasil belajar penulis belum cukup untuk dipertaruhkan dalam hal ini.  Akhirnya, eksperimentasi ini merupakan langkah sadar untuk mencoba sesuatu yang mungkin beraroma kesalahan, yang kelazimannya, dibenarkan dalam suatu proses belajar.

Hakekat Kepemimpinan Metaforik PDIP
“…Kekuasaan adalah kemampuan untuk mempergunakan kekuatan. Dengan kekuasaanlah seorang pemimpin mengisi jalinan kehidupan organisasi” (Bierstadt, R. Robert, 1948)
Dapat dikatakan bahwa perpolitikan nasional di Indonesia mendapatkan angin segar open sky policy pada masa-masa akhir kepemimpinan rezim Soeharto. Berselang tidak lama setelah itu, angin reformasi berhembus, bahkan hingga menumbangkan pohonnya sendiri. Secara resmi, Presiden Soeharto lengser (Huntington: Replacement) dan digantikan oleh Wakil Presiden Habibie pada Juli 1998.

Sebagai akibat produktif yang dihasilkan oleh kinerja gerakan reformasi, untuk pertama kalinya dalam sejarah politik di Indonesia, lahirlah Paket Undang-Undang Politik yang isinya merubah wajah politik dalam rangka prosedur, mekanisme dan proses peralihan kekuasaan. Euphoria politik yang sangat menonjol ketika itu adalah kelahiran dan keterlibatan kontestan partai politik yang akan turut serta sebagai peserta dalam pemilu langsung pertama 1999.

Pada awal reformasi, partai politik yang ada mencapai 148 partai. Dari jumlah tersebut hanya 48 parpol yang akhirnya memenuhi syarat ikut Pemilu 1999. Banyaknya jumlah partai politik saat itu dapat dikatakan bahwa reformasi mengulangi masa awal kemerdekaan sampai dengan tahun 1950-an, dimana jumlah partai politik begitu banyak. Banyaknya jumlah partai politik tersebut merupakan cerminan struktur masyarakat. Apabila masyarakat bersifat heterogen dalam segala hal, termasuk ideology dan aliran politik, maka akan tercermin dalam pembentukan organisasi kekuatan politik, termasuk di dalamnya partai politik.

Daniel Dakhidae mengelompokkan partai politik pasca Orde Baru ke dalam dua jalur utama yaitu jalur Kelas dan jalur Aliran. Partai yang mengambil jalur Kelas membedakan dirinya berdasarkan pandangannya terhadap modal (capital), yang pada akhirnya membagi masyarakat atas kelas pemilik modal dan kaum buruh dengan segala kompleksitasnya. Partai yang mengambil jalur Aliran, membedakan dirinya berdasarkan pandangan terhadap dunia dan persoalannya dan bagaimana cara memecahkannya. Dalam hal ini, agama dan budaya menjadi opsinya. Jalur Kelas dan jalur Aliran tersebut dipisahkan kemudian dengan sumbu vertikal dan horizontal. Sumbu vertikal memisahkan partai berdasarkan agama dan partai kebangsaan. Sumbu horizontal memisahkan partai yang berdasarkan Kelas yaitu partai developmentalisme dan sosialisme radikal.

Banyaknya jumlah partai politik tersebut memicu munculnya kritik publik. Keberadaan partai politik yang banyak itu tidak berbanding lurus dengan fungsi yang diembannya. Keberadaan partai-partai politik sebagai pilar demokrasi yang akan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat berbanding terbalik. Partai politik cenderung hanya memperjuangkan partai, kelompok dan kepentingan pribadi. Cenderung sibuk memperebutkan kekuasaan, jabatan dan uang. Sementara persoalan yang membelit rakyat, seperti ketidakadilan, kemiskinan, ketidakamanan serta ancaman rasa takut akan konflik horizontal maupun vertikal, dibiarkan begitu saja.

Salah satu partai politik yang “memanfaatkan” situasi ini, sekaligus dalam kaitannya dengan ideologi partainya adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Jika menggunakan rumusan Daniel Dakhidae di atas, PDIP berada pada jalur Kelas dengan sumbu vertikal partai kebangsaan dan sumbu horizontal sosialisme radikal. Jadi, dapat dikatakan bahwa Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) adalah partai sosialis radikal berorientasi kebangsaan.
Dalam kaitan itu, tentu bukan suatu kebetulan apabila PDIP menggunakan diksi ‘rakyat’ sebagai terminologi suci dalam berbagai format penggunaannya. Sublima-sublima kerakyatan PDIP, dalam hal ini boleh dipandang sebagai sebuah konsistensi. Liputlah misalnya, program-program dan kegiatan-kegiatan atau sikap pendirian politik PDIP pada berbagai domain implementasinya, senantiasa mengedepankan sisi sensitifnya terhadap apa yang berkaitan dengan rakyat. Meskipun parasnya tetap merupakan suatu strategi politik yang bisa berlatar macam ragam. Namun, nukilan ini akan berusaha menjauh dari semua hal yang menuansakan kerentanan partai politik ini.

Dalam nukilan ini, diksi politik kerakyatan PDIP hanya akan dikaitkan dengan sesuatu yang penulis lihat sebagai performa sikap politik partai yang mengejawantah laksana experimented leadership climate. Suatu konstelasi yang secara terencana menggunakan terminologi kerakyatan sebagai akses untuk masuk dalam berbagai agenda dan strategi politik, terutama bila berbicara soal kepemimpinan nasional. Demikianlah alasannya mengapa nukilan ini diawali dengan fokus pada diksi politik kerakyatan PDIP (Marhaenisme).

Marhaenisme adalah sosialisme kerakyatan. Karena itu, PDIP memandang Republik Indonesia ini sebagai negaranya rakyat kecil . Founding Father bahkan telah mengubur nisan Kepemimpinan Nasionalnya dengan sebutan Presiden Wong Cilik. Kepemimpinan Nasional di negeri ini membutuhkan Presiden yang memandang Pancasila dan rakyat kecil sebagai kliennya. Bung Karno telah memberi contoh tentang itu, kata Budiman Sudjatmiko.
Sebagai partai politik nasional, orientasi politik PDIP, tentu kepemimpinan nasional pula. Upaya ke arah itu diperjuangkan melalui semua lini politik, mulai dari domain legislasi (DPR), eksekutif, yudikatif dan masyarakat (rakyat). Salah satu model komunikasi politik yang dikembangkan oleh PDIP kepada rakyat adalah upayanya membangun opini bahwa kepemimpinan nasional yang diharapkan dan atau dibutuhkan negeri ini adalah politisi yang berdaulat, amanah dan tidak melupakan rakyat sebagai kliennya.  
Sekaitan dengan hal itu, secara sistematis, PDIP membangun/mencitrakan watak pemimpin nasional melalui seluruh kadernya, kebijakan program dan kegiatannya bahkan meliputi pula cara-cara skenariotip di luar domain politik. Hal yang disebutkan terakhir tersebut didukung oleh dokumen rahasia para pelakunya.

Fondasi pandangan kepemimpinan nasional PDIP dibangun di atas bangun teori genetis. Alasannya, partai politik harus memiliki suatu perencanaan proyektif yang mampu “menjamin” bahwa PDIP memegang tampuk kepemimpinan nasional hingga masa yang jauh ke depan. Oleh karena itu, PDIP menggunakan golden history of the founding father Soekarno sebagai preferensi simbolik kepemimpinan nasionalnya. Dari golden history of the founding father inilah PDIP mencitrakan dan membangun opini publik bahwa pemimpin itu dilahirkan, bukan diciptakan.

Relevan dengan kondisi modal manusia PDIP yang memiliki Megawati selaku Ketua Umum dan keluarga besar Soekarno sebagai figur pemimpin lanjutan. PDIP bermaksud menerapkan paham asal-usul kepemimpinan yang bersifat genetis, bahwa bila rakyat memandang dan mengukuhkan Soekarno sebagai Indonesia itu sendiri dan mengukuhkan Indonesia sebagai Negara yang berpemimpin, maka garis-Soekarnolah tempat pemimpin itu terlahir. Selanjutnya, keluarga besarnyalah yang terbaik untuk melanjutkan kepemimpinannya. Pandangan kepemimpinan ini diturunkan dalam beragam aksi dan strategi yang akan diketengahkan dalam sub bahasan epistemologis berikutnya.

Teori kepemimpinan yang relevan dengan hal tersebut, merangkum ketiga pendekatan kepemimpinan besar yakni sifat keperibadian pemimpin, perilaku pemimpin dan situasi. Sungguh suatu advantageous, sebab hitam putih sifat keperibadian Soekarno, tampaknya dapat diterima oleh rakyat sebagai suatu totalitas golden figure dalam lintasan sejarah di Indonesia. Demikian pula halnya dengan perilaku Soekarno, baik dalam konteks prakarsa politiknya maupun prakarsa manajerialnya. Tak ayal ia diberi predikat founding father yang tentu saja dapat disimpulkan sebagai adi kemampuan dalam menata struktur dan elemen negara dan bangsa. Terkhusus kemampuannya menyusun aspek mental kognitif manajemen negara dan bangsa sehingga Indonesia memiliki Garuda dan Pancasila. Pendeknya, Soekarno adalah konsepsi kepemimpinan itu sendiri. Soekarno adalah gen kepemimpinan bagi padangan dunia kepemimpinan PDIP.

Berikutnya, kompleksitas situasi yang berkaitan dengan pekerjaan, tugas dan tanggung jawab yang disandang Soekarno pada masanya, menempatkannya sebagai seorang perfectionist manager yang dalam rangka tanggung jawab itu, mampu menciptakan equilibrium nasional yang dinamik. Betapa tidak, di tengah-tengah sekian banyak tokoh berkaliber pemimpin lain dalam percaturan politik ketika itu, Soekarno mampu mempersepsi relasi yang tepat dalam rangka sikap dan gaya kepemimpinannya.

Tipologi Soekarno yang memiliki kekuasaan, kewibawaan dan ability tersebut di atas adalah konsepsi kepemimpinan PDIP yang dalam implementasinya, oleh penulis, diidentifikasi sebagai suatu kepemimpinan metaforik dengan mempertimbangkan usaha (movement) PDIP dalam menjadikannya sebagai opini publik. Dengan mengibarkan kembali Soekarno, PDIP berbicara tentang dua hal sekaligus yakni, teori genetik sebagai asal mula kepemimpinan dan kepemimpinan efektif ala perfeksionisme Soekarno sebagai jawaban kebutuhan Kepemimpinan Nasional di Indonesia dewasa ini.

Rangka Pengetahuan Kepemimpinan Metaforik PDIP

Fakta empirik tentang bagaimana movement kearah pembentukan opini publik tentang konsepsi kepemimpinan metaforik PDIP diperoleh melalui sejumlah catatan media massa. Meski terkesan random dan sangat sulit menemukan simpul rasionalitas pertemuannya satu sama lain, namun secara tematik, kesemua fakta yang dikaji dapat menunjukkan adanya suatu sistematika. Oleh karenanya, sub bahasan episetemologis ini, akan tetap berupaya agar dapat tersaji fakta, ide dan hipotesis yang berkualitas sebagai perlakuan metode ilmiah.
Pada tahun 2001, saat Megawati Soekarno Putri menjabat Presiden RI (2001-2004), seorang mantan anggota Batalion Arhanud SE 10/Kodam Jaya bernama Suwito mengundang wartawan ke kediamannya, perumahan Cileungsi Hijau, daerah perbatasan Bogor-Bekasi. Ia memperkenalkan diri sebagai Soenuso Goroyo Soekarno dan mengaku memiliki “kontak” dengan mendiang Soekarno. Dalam menguatkan kesaksiannya, Suwito alias Soenuso Goroyo Soekarno menunjukkan ratusan batang emas dan emas putih platinum lantakan miliknya, yang diperoleh dari “kontak” dengan mendiang Soekarno. Masing-masing emas berukuran 8 ons bergambar Soekarno dan padi kapas. Dibaliknya bertuliskan 80 24K 9999.  Logam-logam itu dibungkus emas dan bersertifikat emas pula, disamping selembar sertifikat deposito bertanggal 16 Agustus 1945, yang dikeluarkan oleh BPUPKI yang menyebut sejumlah harta disimpan pada suatu tempat.

Motif Suwito yang mengaku diri sebagai Satria Piningit  ini, menurut pengakuannya, bukan untuk kekuasaan karena Indonesia saat itu sudah dipimpin oleh keturunan Soekarno. Ia hanya menjalankan “tugas” untuk meneruskan harta Soekarno kepada pemerintah untuk penyelesaian hutang-hutang Negara. Rasionalitas yang menguatkan adalah logam-logam mulia yang jumlahnya ratusan itu merupakan kualitas baik menurut pengujian keaslian ahli yang dikonfrontir oleh wartawan. Tidak mudah seorang partikelir biasa menguasai kekayaan sebanyak itu. Terlebih-lebih karena kekayaan itu berupa materi logam mulia produksi zaman yang sudah lewat. Begitu pula halnya dengan dokumen tua sertifikat yang dikeluarkan BPUPKI.
Peristiwa tersebut berkaitan dengan rumor harta karun Soekarno yang belum diketahui keberadaannya namun sudah sangat akrab ditelinga rakyat Indonesia sejak lama. Menurut catatan media massa, isu harta karun Soekarno pertama kali muncul (dilansir media Suara Pembaruan Sore) pada Agustus 1996. Bila kurun waktu itu disandingkan dengan peristiwa penyerangan Kantor PDI di Jalan Diponegoro Jakarta Pusat yang terjadi pada 27 Juli 1996, tampaklah suatu meta visi. Titik tumpunya adalah peristiwa 27 Juli 1996 yang merupakan momentum metamorfosa PDI ke dalam PDIP, dan kemudian menghantar Megawati Soekarno Putri sebagai Ketua Umumnya.

Tampak jelas bahwa sejak peristiwa metamorfosa PDI ke dalam PDIP, atau sejak Megawati Soekarno Putri menjabat Ketua Umumnya, di tengah-tengah masyarakat merebak rumor “Harta Karun Soekarno” atau “Harta Karun Revolusi”. Sebuah rumor politik yang available bagi perbincangan, aviliasi, kompromi hingga penggagasan kekuatan dan strategi menuju kepemimpinan nasional. Termasuk bukan suatu kebetulan apabila Agustus 1996, beberapa minggu setelah Suara Pembaruan melansir untuk pertama kalinya rumor “Harta Karun Revolusi” dengan judul “Dana Revolusi: Siapa yang Tahu”, justru di Fakultas Sastra Universitas Jember digelar seminar awam bertajuk “Dialog Imajiner Dengan Soekarno: Membincang Masalah-Masalah Kepemimpinan Nasional.”  

Tentu hal-hal tersebut boleh dipandang sebagai sesuatu yang tidak kebetulan belaka. Apalagi, terdapat kesan bahwa elit politik dan pemerintah mengabaikan prahara 27 Juli 1996 sebagai peristiwa yang memerlukan proses hukum. Apakah karena begitu “gemuknya” prahara 27 Juli itu dengan intensi politik tingkat tinggi sehingga tak ada satupun Presiden yang mau memprosesnya secara hukum. Juru bicara ELSAM, sebuah lembaga non profit di Jakarta mengatakan bahwa tidak perlu heran, mengapa kasus 27 Juli 1996 itu tidak digubris oleh tiga Presiden hingga masa SBY ini, karena elit politik tahu dari mana dan kemana indeks peristiwa politik itu mengarah. Terbukti saat Megawati menjabat Presiden pun, tak ada upayanya (selaku korban) untuk meng-clear-kannya.  

Pada tahun 2009, sebuah acara di salah satu stasiun televisi bertajuk Metro Files menampilkan topik “Dana Revolusi”. Sejumlah saksi sejarah, peneliti sejarah hingga seorang mantan intelijen pada zaman itu diinterview. Salah satu keterangan menarik yang dituturkan mantan intelijen tersebut mengatakan bahwa tidak benar apabila ada orang yang mengaku menguasai dan menunjukkan kekayaan yang disebut “Dana Revolusi” kecuali ada hubungan dengan keluarga besar Soekarno. Katanya, bahkan Moerdiono pun, seorang Sekretaris Negara yang dahulu ditugasi oleh Presiden Soeharto untuk menelusuri keberadaan “Harta Karun Revolusi” itu, tidak berhasil menemukan apa-apa selain jalan buntu yang gelap. 

Apalagi sudah terbukti bahwa ternyata, harta karun “Satrio-Suwito-Piningit” itu merupakan properti pinjaman. Begitu jawabannya ketika lima  tahun kemudian sejak pemunculannya tahun 2001 mempersaksikan sejumlah logam mulia dan dokumen sertifikat yang ia gunakan dalam sandiwaranya. Namun ketika ditanya oleh Metro Files, pinjaman dari siapa? Ia malah membeberkan bagaimana cara ia mengangkat “harta karun” itu secara gaib. Sungguh suatu model atau strategi penyesatan yang apik, yang tidak mungkin mampu dilakukan, oleh sembarang orang, sekalipun seorang mantan tentara. Namun sandiwaranya telah menuai efek di tengah-tengah masyarakat yaitu posibilitas adanya rasa kagum terhadap sosok Soekarno yang multi dimensial, kekayaannya yang berlimpah sebagai kebalikan dari situasi umum masyarakat yang terhimpit masalah ekonomi, sehingga sangat mungkin membentuk sublima kepemimpinan di benak masyarakat.

Sangat terbuka kemungkinan untuk sampai pada asumsi bahwa asset atau property berbentuk emas lantakan dan sertifikat itu sesungguhnya ada dan dikuasai oleh keluarga Soekarno, seperti keterangan mantan intelejen zaman Orla tersebut di atas. Termasuk asumsi bahwa untuk mampu menunjukkan wujud harta karun itu, seperti yang dilakukan “Satrio-Suwito-Piningit”, harus didukung atau mempunyai akses ke keluarga Soekarno. Dalam kaitan dengan peristiwa-peristiwa semacam itu, terdapat suatu kemungkinan adanya semacam rancangan conspiracy mechanism antara aktor-aktor tertentu dengan keluarga besar Soekarno.
Memang tampak jelas bahwa semakin ke depan, PDIP terkesan merubah caranya dalam mengimplementasikan padangan dan visi kepimpinannya. Melalui beberapa Pemilukada, PDIP secara berbeda, sengaja meminang figur-figur biasa (ordinary), termasuk bukan dari kalangan elit politik, apabila mereka termasuk figure merakyat. Sebagaimana Pemilukada DKI, dimana PDIP menyokong sosok Jokowi yang dianggap figure merakyat. 

Nilai Kepemimpinan Metafor PDIP

Jelas sekali, dalam kaitan kepentingan apa wacana dan praksis kepemimpinan metaphorik PDIP tersebut diarahkan atau mengarah. Namun meski tampak kurang memadai, nukilan ini tetap akan diproyeksikan ke dalam wilayah nilai. Kutub nilai yang dituju antara lain adalah kutub nilai universal (free value) dan kutub nilai terikat (not free value).  Dengan menelusupkan golden history of the founding father Soekarno ke dalam konstruktur opini publik, maka PDIP diuntungkan melalui prinsip-prinsip genetis, asal mula kepemimpinan. Hal ini dimungkinkan karena dalam dunia hidup manusia secara universal, ada pengalaman pemerintahan tradisional yang mengajarkan sublima semacam itu. Bahkan, hingga saat ini masih hidup dan mendekam dalam benak manusia. Daya saing-nya terhadap konsepsi kepemimpinan modern adalah karena pada umumnya manusia modern saat ini tidak mengalami secara langsung peran kepemimpinan genetis di masa pemerintahan tradisional. Karena itu pula, hampir dapat dikatakan bahwa kekurangan atau hal-hal negatif dari peran kepemimpinan genetis, tidak secara signifikan merangsang analisa manusia modern sehingga cenderung sangat mudah menyentuh golden histories-nya saja.

Oleh karena itu, dapat dikatakan masih relevan membahas kepemimpinan efektif ala perfeksionisme Soekarno sebagai jawaban kebutuhan Kepemimpinan Nasional di Indonesia dewasa ini. Apalagi kecenderungan kelemahan kepemimpinan modern dewasa ini bersumber pada sikap mental yang pragmatis (didukung oleh kompleksitas produksi massal yang melingkupi kehidupan modern) yang cenderung kapitalistik. Hal mana, kecenderungan pragmatik yang kapitalistik relatif belum “mengendalikan” kesadaran dunia hidup para pemimpin dimasa lalu.

“Kelelahan” pikiran manusia dalam meliput dan menanggapi carut-marut serta kecenderungan negatif yang dijejakkan oleh kepemimpinan modern deawasa ini, boleh jadi mendorong manusia untuk secara sadar “mencoba” kembali kepemimpinan genetis, termasuk di Indonesia. Boleh dikata, tidak ada bangunan kaidah moral yang direduksi dari penerapan konsep kepemimpinan genetis. Namun bila dikaitkan dengan cara-cara dan strategi yang ditempuh guna mengangkat dan menghidupkan kembali gagasan kepemimpinan genetis dalam opini publik, sebagaimana ditempuh oleh PDIP, tentu diperlukan perdebatan mendalam. Model-model penyesatan yang dipraktekkan cenderung tidak linier dengan nilai-nilai kejujuran, padahal tampaknya, tidak ada hal yang perlu disembunyikan atas nama siasat strategic dalam kaitan itu.

PDIP masih dapat mendalami dan merancang lebih cermat lagi hal-hal yang dianggapnya sebagai strategi dalam rangka menentukan praksis tersebut berdasarkan pilihan-pilihan moral yang referensial bagi bangsa ini. Kejujuran dan keterbukaan jauh lebih bernilai tinggi ketimbang siasat semacam itu apabila suatu hal yang ingin dikomunikasikan itu dapat dikatakan “sudah tuntas dalam skala nilai” di dalam kesadaran bangsa Indonesia. Mungkin terlalu gegabah apabila nukilan ini mengatakan bahwa hitam-putih kepemimpinan Soekarno dapat diselesaikan sendiri oleh masing-masing kesadaran historis orang Indonesia. Dan hal itu menandakan bahwa tidak perlu menyiasati model komunikasi apabila hendak mengkomunikasikan kembali golden figure kepemimpinan Soekarno. Hal ini dimaksudkan sebagai penekanan terhadap bagaimana sebaiknya mengkaitkan antara teknik procedural strategi yang ditempuh sebagai operasionalisasi metode ilmiah dan norma-norma moral atau professional yang bisa dijadikan sebagai rujukan.
Share this article :
 

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Jay Template | uak sena
Copyright © 2011. Administrasi Publik - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger